Tanah Air
Cerpen Martin Aleida (Kompas, 19 Juni 2016)
Hatiku teduh. Dia kelihatan tenang. Cuma matanya saja yang terus
memandangiku dengan ganjil. Seakan aku ini siapa, bukan istrinya. Tadi, sambil
duduk berdampingan menjuntaikan kaki di tubir tempat tidur, perlahan kupotongi
kuku-kukunya yang panjang, hitam berdaki. Dari tangan sampai kaki. Gemertak
pemotong kuku meningkahi angin pagi yang deras dan dingin memukuli jendela.
Tanpa menatapku barang sekejap pun, seperti berbisik pada dedaunan
di luar, lagi-lagi dia mengulangi igauan yang saban pagi, menjelang matahari
terbit, diucapkannya seperti merapal mantra. Atau pesan yang aku tak tahu
kepada siapa. “Setengah jam lagi. Begitu matahari terbit, mereka akan datang
membebaskan kita,” desisnya dengan mata yang tetap saja liar, dan sepertinya
aku entah di mana, tidak berada di seberang bahunya. Siapa yang akan
membebaskannya? Aku tak tahu. Dan aku tak pernah mau bertanya. Tetapi, yang
jelas janji akan pembebasan selepas subuh itulah yang kelihatan membuat penderitaannya
lebih dalam.
Aku sama sekali tak tahu bagaimana awal kesengsaraan yang kini
membelenggunya, membuat dia tidak berada dalam tubuhnya sendiri, sebagaimana
dia yang kukenal sejak lebih setengah abad lalu. Dari seorang wartawan olahraga
koran sore yang terpandang. Yang katanya sering mengintipku dari gerbang
Tjandra Naja, dekat Jakarta Kota, saat aku pulang sekolah naik sepeda.
Laki-laki peranakan yang bermata tidak sesipit mataku, tapi hatinya sungguh
lapang. Dan aku merasa tersanjung, juga bingung, ketika dalam surat pertama
yang dia selipkan ke dalam tasku, memuji betisku setengah mati.
Sekarang, di tempat tidur ini, dari seorang manusia, kini dia
tinggal menjalani sisa hidup hanya sebagai seonggok daging tak berjiwa. Hampa.
Aku tak tahu apa yang menjadi pencetus penyakitnya ini. Yang membuat matanya
terkadang garang. Teramat garang. Memerah. Seperti hendak pecah. Kalau sudah
begini, dia menghindar dari tatapanku, bagaimanapun manisnya aku tersenyum, dan
melemparkan pandang ke luar jendela. Yang tetap bertahan adalah pernyataan
kasih sayangnya sejak dulu: kalau bangkit dia tak pernah lupa membelai lututku,
persis di atas betis yang katanya membuat dia kesengsem, dulu.
Dari kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa pulang karena
paspor mereka dirampas penguasa baru di tanah yang kutinggalkan, kudengar dia
merasa sangat bersalah. Mengutuki dirinya sebagai seorang ayah yang keji,
karena tidak membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak tunggal kami. Tak
sekali-dua-kali kawan-kawannya di Tiongkok, sebelum mereka mendamparkan diri ke
Amsterdam sini, memergokinya sedang membisikkan nama anaknya berulang kali, dan
membentur-benturkan kepalanya ke meja makan. Juga ke tembok. Kawannya sekamar
sering mendengar desis sebuah nama dan gedebuk berulang-ulang di dinding batu
sementara dia masih berada di toilet.
Menurut cerita kawan-kawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan
membanjir di seluruh daratan Tiongkok, dia acapkali termenung, tak percaya akan
apa yang dia saksikan. Dia dengar di seluruh negeri itu seorang manusia sedang
dipuja melebihi dewi Kwan Im. Suatu pagi dia
terperanjat. Gemetar melihat puluhan pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal
merah, yang sedang konferensi di satu hotel bertingkat, semuanya berdiri di
beranda hotel di tingkat ke sekian, menghadap ke timur. Mereka bukannya memuja
matahari, melainkan memuliakan sang penyelamat yang sedang duduk entah di mana.
Lewat pengeras suara, mereka bersenandung, seperti hendak menggelontorkan
matahari:
“di langit tiada
dewa
di bumi tiada raja
gunung-gunung menyingkirlah
aku datang ...”
Dia bersama ratusan kawan senasib disingkirkan ke sebuah kota
kecil, jauh dari Peking. Alasannya demi keamanan. Supaya tak jadi sasaran
mereka yang datang dengan senjata “Buku Merah”. Dia merasa benar-benar
dikucilkan, disingkirkan, dari dunia yang wajar. Dilarang keluar dari kompleks
perumahan. Dari seorang yang terlatih menulis, dia menjadi pengangkut kotoran
manusia untuk pupuk tanaman. Perasaannya tambah tertekan. Apalagi muncul
perpecahan di kalangan mereka yang tak bisa pulang ke Tanah Air itu. Ratusan
jumlahnya. Mereka bertengkar, seperti hendak berbunuh-bunuhan, karena beda
pilihan keyakinan politik, antara Moskow dan Peking.
Beberapa tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat. Melihat
titimangsanya, surat itu terlambat empat bulan. Melalui perbatasan sejumlah
negara Eropa, diposkan di Amsterdam. Hanya secarik kertas. Dia membujukku
menjual apa saja untuk ongkos dan bertolak dari Jakarta supaya bisa berjumpa di
Macao atau Kanton. Waktu itu, pekerjaan sebagai tukang jahit dan pembuat kue
sudah kutinggalkan. Aku sudah memiliki beberapa bajaj dan berangan-angan
menjadi pengusaha taksi supaya bisa memilih perguruan yang baik untuk anakku.
Di stasiun kereta api Kanton aku menjumpainya sedang duduk di
sebuah bangku panjang. Duduk berpangku tangan. Dari rona matanya, sepertinya
dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aku memanggil namanya. “Ini aku…,”
sapaku. Dia berdiri, memelukku erat-erat seperti hendak meremukkan tulang
rusukku. Orang hilir-mudik tak dia hiraukan.
Malam pertama, dia bercerita tentang rencananya berangkat ke
Belgia, yang tak lama lagi akan membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok.
Sehingga visa tinggal di negara itu diperkirakan akan mudah diperoleh. Dari
negara itu, katanya, dia akan melompat ke Belanda, di mana beberapa orang
temannya senasib sudah siap menampung. Aku hanya meletakkan kupingku dengan
baik-baik di bahunya. Mengiyakan apa saja yang dia rencanakan. Malam kedua, ulu
hatiku terasa seperti dia tonjok, ketika dia katakan ada kabar yang sampai ke
kupingnya, bahwa aku sering pergi dengan lelaki. Lantas dia keluarkan sebuah
buntalan kecil dari saku celananya. Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal
tanah merah yang kering.
“Ciumlah … Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan
mempertautkan kita,” katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku, merebahkan
kepala di bahuku. Semacam permintaan maaf atas tuduhan yang baru saja dia
timpakan padaku. Katanya, tanah itu dia bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju
Kairo dan kandas di Peking.
Tak sampai lima tahun setelah pertemuan di Kanton itu. Begitulah,
kalau tak salah ingatanku. Bajajku sudah selusin dan taksiku lima. Dengan
bantuan pengarahan dari gereja, aku bisa menyekolahkan anakku di Australia. Dia
studi teknologi informasi, keinginannya satu-satunya.
Setelah beberapa lama bermukim di Belanda, suamiku berkirim surat.
Layaknya pecandu sepakbola yang ingin lawannya kalah habis-habisan, dia
berteriak melalui baris-baris suratnya: “Juallah semuanya, jangan tinggalkan
sepeser pun di negeri yang dikuasai fasis itu. Terbanglah kemari! Tanahmu.
Tanahku, walau segenggam, menunggu di sini .!”
Tak terlalu sulit untuk memenuhi keinginannya. Ada orang-orang
gereja yang siap membantu mencarikan pembeli. Juga sanak-saudara, sekalipun
mereka harus mendekatiku dengan hati-hati. Cecunguk di mana-mana. Tiba-tiba,
datang lagi surat dari dia. Singkat. Memerintah: jangan berangkat dulu! Keadaan
tidak aman. Maksudnya apa, aku tak tahu. Tunggu kabar selanjutnya, katanya.
Padahal rumah sudah terjual. Terpaksa aku mengontrak rumah selama setahun.
Kabar susulan dari dia belum juga muncul selama setahun.
Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang
kucintai. Orang yang sayangnya pada anakku membuat dia dikungkung ketegangan
karena merasa bersalah tidak ikut membesarkannya. Tetangga, sanak-famili boleh
acuh-tak-acuh, karena takut, namun gereja membukakan pintu untukku. Walau hanya
bubungan gereja kecil. Di situlah aku tinggal sambil menunggu aba-aba
keberangkatan yang akan datang dari daratan impian.
Derita tak usah berpanjang-panjang. Sementara keteguhan tak boleh
padam. Singkat cerita, aku mendarat di Schiphol. Dia menyambutku di pintu ke
luar. Dada sesak oleh kebahagiaan. Aku dirangkulnya berlama-lama. Lantas
mendorong barang bawaanku menuju kereta api.
Rumahnya agak di tepi Amsterdam. Masyarakatnya terdiri dari
berbagai ras. Orang Suriname yang paling banyak. Ruang tamunya cukup lega, dua
kamar tidur, lengkap dengan dapur dan kamar mandi yang memadai. Terletak di
lantai delapan. Dari kawan-kawan terdekatnya, terutama peranakan, kuperoleh
keterangan bahwa kesengsaraan, berupa stres yang dia tanggungkan, bertambah
buruk. Apa pun aku akan dan harus menemaninya. Sebagaimana aku harus
membesarkan anakku, maka aku juga harus mendampinginya walau ajal menanti.
Dia sering merenung. Matanya acapkali menerawang kosong ke luar
jendela. Jarang sekali dia memulai percakapan. Hatiku melambung bahagia ketika
anakku liburan dan mengunjungi kami. Ketika dia masih duduk di sekolah dasar,
dengan susah-payah aku melerai kemarahannya terhadap ayah yang dia tuduh tidak
bertanggung jawab, meninggalkannya. Menyia-nyiakan ibunya. Bersenang-senang di
luar negeri sana.
Di meja makan. Menjelang tidur. Terkadang saat sedang belajar,
kalau momennya kena, kukatakan bahwa ayahnya tidak bersalah. Tak bisa pulang
membesarkan dan menyekolahkannya bukan pilihannya. Susah-payah aku menjelaskan
kepadanya, bahwa ada kekuasaan yang begitu buruk rupanya, sehingga sampai hati
memisahkan seorang anak tunggal dari ayahnya.
Han, sekarang sudah terbebas dari siksa di masa kecilnya. Selain
penjelasan berulang-ulang yang kusampaikan, dia juga menjadi matang dengan
jalan yang dia temukan sendiri. Terutama oleh dunia yang bisa dia arungi lewatGoogle. Bagaimanapun kekuasaan
mencoba berbohong dan menutupi kejahatannya terbongkar juga di dunia maya.
Han membuat dadaku mongkok. Setelah dewasa, dia berubah dalam
bersikap terhadap papinya. Suamiku yang tetap tumpul. Terkungkung dalam jiwa
yang remuk. Setelah putra tunggal kami itu kembali ke Australia, ketegangan
yang dialami suamiku bukannya mengendur. Bercakap-cakap di taman, di meja
makan, di tempat tidur, dia tak habis-habisnya mengutuk dirinya sendiri. Karena
ucapan anaknya yang masih kecil, bahwa dia bukan seorang ayah yang bertanggung
jawab.
“Sudahlah . Dengarlah baik-baik. Tuduhan anakmu itu ‘kan kau
dengar dari kawan-kawamu di Tiongkok ‘kan? Sama seperti kau juga dengar bahwa
aku menjual diri kepada lelaki lain. Aku tak mempedulikan omong-kosong orang.
Kalau kumasukkan ke dalam hati, aku bisa gila. Dengarlah baik-baik. Selama Han
bersama kita di sini, dia memanggilmu Papi. Papi…! Kau ingat ‘kan? Tidakkah kau
bisa menafsirkan sebutannya padamu itu sebagai tanda permintaan maaf. Bahwa kau
adalah ayahnya yang baik. Bahwa kau tak pulang-pulang bukan lantaran kehendakmu.”
Tapi, dia cuma membatu. Tak bergetar. Apa yang berkecamuk di dalam
hatinya, aku tak tahu. Matanya tetap nanar menatapku.
***
Hatiku terasa teduh. Dan dia kelihatan lebih tenang. Cuma matanya
yang terus memandangiku dengan ganjil. Seakan-akan aku bukan istrinya.
Sebentar-sebentar dia melongok ke jendela.
“Sudah potong kuku. Sudah mandi. Sudah sarapan. Kita tinggal
tunggu. Nanti dokter akan datang,” bujukku. Saya pamit mau membuang sampah,
menyiram tanaman di beranda, mencuci piring, dan merapikan ruang tamu.
Di beranda aku merawat taman kami yang mungil, sekitar setengah
kali dua meter. Di situ kutanam rose, juga dua pohon pisang, agar Indonesia
tidak terlalu jauh dari kami.
Telepon berdering. “Saya psikiater yang akan mengunjungi suami
Nyonya. Apakah dia baik-baik saja?” kata yang menelepon.
“Dia baik. Baik, Dokter,” sahutku.
“Tunggu ya.”
Aku membersihkan kamar mandi. Menggosok toilet. Ketika menjinjingvacuum cleaner ke kamar tidur, aku disentak gordin
yang berkibar sejadi-jadinya disapu angin. Jendela ternganga. Tempat tidur
melompong. Aku berteriak memanggilinya. Tak ada jawaban. Aku lari ke kamar
mandi. Dia tak ada di situ. Toilet kosong. Secepat petir pikiranku terbang.
Suara orang yang menelepon, yang mengaku psikiater, tadi kayaknya mirip suaranya.
Kudorongkan kepalaku keluar jendela. Memanggil-manggil namanya ke samping, ke
bawah. “Di mana kau… Di mana…?!”
Kukunci seluruh ruangan. Cepat aku melangkah ke lift. Kupencet
angka nol di panel. Begitu keluar dari lift, kudengar jeritan ambulans yang
merapat di ujung apartemen. Beberapa orang terlihat mengerubung di sekitar
jasad yang ditutup selimut. Aku tak tahu sekuat apa aku menjerit. Sebesar apa
mulutku terkuak menyerukan namanya: “Ang …! Aaaang …!” Aku terjerembab di
sampingnya. Jari-jemarinya masih mengepal tanah merah berbalut kain putih. Di
dekatnya ada secarik kertas yang berkata: Tanah Air Indonesia. Kalau terjadi
apa-apa tolong hubungi istriku, An Sui. Ini nomor teleponnya. (*)
Martin Aleida, Lahir 1943 di Tanjung Balai, Sumatera Utara, menghabiskan lebih
dari lima puluh tahun usianya di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, penulis
lepas. Awal 2016, selama tiga bulan, dengan dukungan sejumlah tokoh, mengadakan
riset tentang kehidupan eksil Indonesia di lima negara Eropa.